Thursday, October 16, 2014

Arloji yang membohongi jarum

Kita layaknya jarum di atas sebuah arloji. Menunggu waktu untuk berhenti dan membohongi diri akan kalimat ‘kita akan terus di atas arloji’. Kita adalah jarum yang rapuh. Kita akan pergi seketika si pemilik arloji akan menghentikan putarannya. Membuat kita mati.

Apa kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sadar, aku hanyalah si jarum pendek. Yang mencintaimu dengan cara yang lamban. Tak dapat mengikutimu, yang selalu cepat dan melewatiku setiap waktu. Kau pergi dan kembali. Kau adalah jarum panjang. Melupakanku seketika kau menghampiriku. Kau adalah bayangan yang terlalu indah untuk kuabaikan.

Kita telah melewati banyak angka-angka. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. Tapi tidak dengan 13. Kata arloji, 13 itu angka sial. Arloji memang selalu percaya mitos. wajar saja. arloji sudah hidup lebih lama dari jarum.

Hai jarum panjang, berhentilah sejenak tetap di atas garisku. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Tapi sayangnya, jika kau menghentikan langkahmu, kau akan menyesali nya seumur hidupmu. Kau tak akan berputar lagi. Kau tak akan meraih mimpimu untuk menggenggam impianmu.

Kita pernah melewati banyak hambatan. Rinduku yang tergeletak pasrah tak kau abaikan. Kau yang ingin berhenti tapi takdir berkehendak lain. Kita bersama, tapi tak berdampingan. Aku merindukanmu. Sepenuhnya. Seutuhnya.

Sadarkah kau jarum panjang? Arloji membohongi kita berdua. Arloji tahu kita saling mencintai. Ia sengaja memberi kita kecepatan yang berbeda. Dia ingin kita belajar untuk memahami satu sama lain. Mempelajari bahwa setiap jarum itu berbeda. Pelajaran yang diajarkan arloji itu yang akan menimbulkan rasa kedewasaan. Perbedaan jarum pendek dan jarum panjang adalah warna khas bagi alas arloji.


Ya, akulah si jarum pendek. Kau si jarum panjang. Walaupun kecepatan kita berbeda, percayalah, kita sama-sama memiliki waktu yang sama. Rindu yang sama. Rasa yang sama. Aku rasa kita bisa bersama. Mencintai. Melumpuhkan sombongnya arloji yang membohongi rindu.

Sunday, October 5, 2014

Batas Dinding Pertemuan

Aku berdiri di atas tempat kau dulu berdiri. Dulu, kau berdiri ditempat aku berdiri. Sekarang, aku hanya bisa menatap senja, sembari menjaga dua tempat kita dulu berdiri. Ini permainan yang memuakkan. Andai, kita diizinkan untuk memutar lebih banyak jarum arloji lagi, mungkin aku masih bisa merangkul. Merasakan hangat dan detak jantung istimewa itu. aku rindu. Kemungkinan kau kembali tak akan pernah ada lagi. Logika siapapun menyadari itu. tapi, sore ini, aku masih melihat wajahmu. Hidupku dihiasi ceritamu. Tolong. Hentikan. Aku ingin menjalani hidupku dengan biasa. Seperti mereka.

Aku ada di antara batas dinding pertemuan. Secepat kau datang, secepat kau pergi. Bagiku, cinta yang abadi itu terlalu cepat. Hidup memang tidak pernah adil untuk beberapa manusia yang mengharapkan cinta nya. Terkadang, banyak yang pergi saat kau menikmati yang kau punya. Tuhan membagi kebahagiaan. Untuk beberapa pribadi, tuhan tak akan pernah membiarkan kita menikmati kebahagiaan yang terlalu banyak. Tidak adil kan?

Aku adalah saksi yang melihatmu melintasi batas itu. dinding yang terlalu tinggi untuk aku lewati. Mungkin, kaki ku terlalu letih untuk menemui mu disana. Aku hanya sibuk meng-egoiskan diri. Memaksa apa yang akan kupaksa. Aku menyesali semuanya. Rinduku memuncak terlalu kurang ajar.

Petikan itu masih terdengar jelas. Mendengung cepat, menceritakan semuanya. Berputar balik ke arah berbeda. Aku menunggu dengan sabar. Menunggu ia pergi. Tapi ia tidak beranjak. Aku sangat membencinya. Oh rindu, betapa munafik nya dirimu. Ada banyak orang yang patut kau jumpai, tapi kau masih merasa betah disini, di pangkuanku, seakan aku tuanmu. Satu doaku, pergilah. Carilah orang yang lebih pantas menikmati kesakitan.

Cerita-ceritaku sudah tertulis jelas dalam banyak lembaran kertas. Tersusun dalam helai-helai nya. Aku ingin sekali membuang atau membagi. Aku ingin menerbangkannya jauh. Tapi aku tak punya tempat untuk membuangnya. Aku juga tak punya teman untuk membaginya. Aku juga tak punya pesawat yang bisa menjauh dan tak kembali.


Rindu itu tak sekolah. Maka dari itu, rindu selalu datang dan pergi tanpa permisi. Rindu memang selalu memuakkan. Tak tahu adat.

Nasihat

Ini aneh, tapi baiklah. Halo nak, ini ayah. Ayah tak tahu kamu lelaki atau wanita, yang jelas, jikalau nanti kau sudah dewasa, dan mene...