Kita layaknya jarum di atas sebuah arloji. Menunggu waktu
untuk berhenti dan membohongi diri akan kalimat ‘kita akan terus di atas arloji’.
Kita adalah jarum yang rapuh. Kita akan pergi seketika si pemilik arloji akan menghentikan
putarannya. Membuat kita mati.
Apa kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sadar, aku hanyalah si
jarum pendek. Yang mencintaimu dengan cara yang lamban. Tak dapat mengikutimu,
yang selalu cepat dan melewatiku setiap waktu. Kau pergi dan kembali. Kau adalah
jarum panjang. Melupakanku seketika kau menghampiriku. Kau adalah bayangan yang
terlalu indah untuk kuabaikan.
Kita telah melewati banyak angka-angka. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, 12. Tapi tidak dengan 13. Kata arloji, 13 itu angka sial. Arloji
memang selalu percaya mitos. wajar saja. arloji sudah hidup lebih lama dari jarum.
Hai jarum panjang, berhentilah sejenak tetap di atas
garisku. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Tapi sayangnya, jika kau
menghentikan langkahmu, kau akan menyesali nya seumur hidupmu. Kau tak akan
berputar lagi. Kau tak akan meraih mimpimu untuk menggenggam impianmu.
Kita pernah melewati banyak hambatan. Rinduku yang
tergeletak pasrah tak kau abaikan. Kau yang ingin berhenti tapi takdir
berkehendak lain. Kita bersama, tapi tak berdampingan. Aku merindukanmu.
Sepenuhnya. Seutuhnya.
Sadarkah kau jarum panjang? Arloji membohongi kita berdua.
Arloji tahu kita saling mencintai. Ia sengaja memberi kita kecepatan yang
berbeda. Dia ingin kita belajar untuk memahami satu sama lain. Mempelajari
bahwa setiap jarum itu berbeda. Pelajaran yang diajarkan arloji itu yang akan
menimbulkan rasa kedewasaan. Perbedaan jarum pendek dan jarum panjang adalah
warna khas bagi alas arloji.
Ya, akulah si jarum pendek. Kau si jarum panjang. Walaupun
kecepatan kita berbeda, percayalah, kita sama-sama memiliki waktu yang sama. Rindu
yang sama. Rasa yang sama. Aku rasa kita bisa bersama. Mencintai. Melumpuhkan
sombongnya arloji yang membohongi rindu.