Tuesday, August 12, 2014

Gadis di persimpangan kota

Kedua sejoli itu masih betah duduk lesehan di bawah terik matahari. Pasangan ini memilih untuk merayakan hari jadi mereka disebuah taman yang sepi dari kerumunan manusia. Mereka memilih tempat itu, agar tak ada yang bisa mengganggu kemesraan mereka. Mereka hanya ingin berdua. Berpelukan. Berciuman. dan menghabiskan waktu mereka dihari bahagia itu.

Tak ada kehidupan disana. Hanya ada sebuah persimpangan menuju kota. Menikmati hari jadi mereka yang ke tiga. Mereka tertawa. Bahagia. Beberapa ekor burung camar berpendar dari timur ke barat mengintip kemesraan mereka. Dua capucino dingin dan beberapa roti isi menemani siang mereka. Sangat indah dipandang mata.

Beberapa saat, si lelaki pergi meninggalkan si gadis. Meminta izin untuk membeli sebuah makanan ringan di kota. Si gadis mengizinkan. Si lelaki manaiki motornya. Melawan arah angin. Menuju sebuah persimpangan yang terlihat jelas dari taman tempat ia duduk. Si lelaki memilih salah satu dari jalan di persimpangan. Ia mengendarai motornya. Si lelaki tak mau membuat si gadis menunggu lama.

****

Satu jam. Dua jam. Tiga jam berlalu. Si lelaki belum juga kembali. Si gadis mulai cemas. Si gadis kemudian beranjak menuju persimpangan tempat si lelaki menghilang tadi. Ia menunggu dengan sabar. Ia belum juga muncul. Lama. Ia memilih untuk setia dalam waktu.

Sudah seharian si gadis menanti. Si gadis mulai lelah. Ia ingin pergi. Ia marah pada si lelaki. Tapi si gadis takut si lelaki akan kembali dan mencarinya. Si gadis masih teguh menanti. Walaupun rasa haus mulai menghantui. Ia tetap menunggu. Tak ada tanda-tanda si lelaki akan kembali.

Sudah lama sekali. Si gadis tak tahan lagi. Ia sangat muak dengan kelakuan si lelaki. Betapa teganya ia meninggalkan gadis di hari jadi mereka. Kini kedua bola matanya mengarah pada persimpangan dihadapannya. Kini, ia berada dalam pilihan. Ia harus memilih antara 2 jalan dihadapannya. Jalan mana yang harus ia ikuti. Jika tidak, ia akan menjadi abu yang tertiup angin. Emosi dalam jiwanya mulai bernegosiasi.

Si gadis berlari meninggalkan persimpangan. Memilih satu jalan yang dianggapnya benar. Gadis berlari dengan kencang. Melawan arah angin. Sampai tak terlihat. Menembus kabut. Ia berlari. Terlihat samar, air mata darinya terjatuh menbasahi jalan setapak. Air hujan mulai terjatuh mengirinya jejaknya. Ia menghilang dipersimpangan menuju kota.

Hujan makin deras. Tak lama setelah itu, tampak sebuah siluet dari jalan yang berbeda. Sebuah bayangan datang dari persimpangan. Si laki-laki kembali. Ia membawa sekantong makanan dan minuman. Tapi, si lelaki terlihat berbeda. Dia berjalan terseok-seok tanpa motornya, dengan wajah penuh darah dan kaki yang nampaknya patah. Ia kembali di taman saat tadi ia meninggalkan si gadis. Si laki-laki tak mendapati si gadis. Gadis menghilang. Si lelaki menangis.

Si lelaki menunggu. Lama. Sangat lama. Sehari. Dua hari. Tiga hari. Si gadis belum juga muncul. Persediaan makanan sudah habis. Si lelaki meraung. Berteriak sekeras-kerasnya. Tak ada yang mendengar. Si lelaki kehabisan nafas. Tak mampu lagi bergerak. Di akhir hari itu, si lelaki terbaring kaku tak bernyawa. Tergeletak hanya dengan raga. Hujan turun amat deras.

Monday, August 11, 2014

Air mata si badut sulap

Riko menatapnya jauh. Seorang laki-laki yang berada dalam sebuah kostum badut dengan hidung warna merah bulat. Ia melompat, bercanda, dan menghibur semua orang yang menghampiri dengan sulap sederhana. Ia terlihat bahagia, jelas dari warna kostum, sunggingan senyum di topengnya dan perutnya yang amat besar. Riko mendekatinya lagi, ingin melihat lebih jelas si badut.

Seorang anak kecil ingin memegang hidung merahnya. Si badut menunduk. Riko lebih mendekat. Sesaat ada yang aneh. Entah mulai sejak kapan, Riko mulai mendengar sebuah isakan. Entah dari mana. Seperti suara tangis yang tertahan. Riko amat penasaran. Riko memegang tangan si badut, tangannya bergetar. Jelas, si badut yang menangis. Bathin nya.

Setelah itu, Riko berkenalan dengan dia, dan semua ceritanya. Dia seumuran dengank Riko. Seorang mahasiswa paruh baya. Dia seorang yang berkehidupan cukup. Anak dari orangtua yang mampu dalam penghidupan anak-anaknya. Kenapa dia melakukan ini? Semua terjawab.

Setahun lalu, ia kehilangan seorang wanita. Seorang pacar. Ditinggalkan untuk selama-lamanya. Karena sebuah peristiwa tabrak lari. Penyesalan amat melingkarinya. Menyayat jiwanya. Bekas darah yang dulu membasahi telapak tangannya masih terasa dingin.

Sebelum kejadian itu, dia membuat kesalahan besar dalam hidupnya. Tak mampu membahagiakan pacarnya. Sangat banyak kesalahan yang telah si laki-laki buat. Saat dulu, dia sama sekali tak pernah memperhatikan kekasih yg bahkan tepat ada dimatanya. Meminta untuk ditemani. Ia tak peduli. Ia tak bisa menebusnya dengan baik.

Ia ingin menebus kesalahannya. Dahulu, si wanita sangat menyukai badut sulap. Badut adalah pelampiasan kebahagiaan saat si laki-laki tak peduli padanya. Ia bahagia, meskipun semu. Badut membuat harinya berwarna. Meskipun hanya berwarna kelabu.

Si laki-laki hanya ingin menjadi orang yang sempurna di mata si wanita. Meskipun sudah terlambat, ia hanya ingin menebus dan membuat si wanita tersenyum di surga. Mengampuni kesalahannya. Dengan menjadi badut, dia ingin menyatukan kebahagiaan si wanita. Membuatnya lengkap. Agar tak ada lagi kesakitan dalam jiwanya. Begitu banyak keperihan yang bahkan harus membuatnya memakai kostum badut itu untuk menyembuhkan rasa.

Menurut si badut, penyesalan sebaiknya dinikmati untuk ditebus. Terlalu sakit untuk disesali. Dengan menebusnya, itu akan membuatnya lebih tenang menjalani hari-harinya.
......

Si Riko? saat ini, dia kembali memulai aktifitas kembali. Kabar terakhir yang ia dapat, si badut sulap itu kembali menjalani aktifitasnya di sebuah almamater di makassar. Dan akhir-akhir ini, si badut sulap menulis kisahnya dengan  judul “Air mata si badut sulap”.

Sunday, August 10, 2014

Kalimat yang terputus

Selamat sore kenangan. Sekarang aku duduk diatas bangku taman saat 5 tahun lalu kau pergi. Logika ku sendiri mulai bergeser hanya karena sebuah harapan kembalimu. Maukah kau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu memuakkan bathin? Apa kau masih ingat dengan boneka kayu kecil yang sempat menjadi teman dikala gerimis bulan desember saat itu? Dulu, kau menggigil dingin, dibawah sebuah pohon akasia, kau bersandar dibahuku. Seakan-akan, aku adalah pusat semestamu. Sebuah sweeter kecil akan melindungi kita dari ranting pohon. Berdua. Persis seperti kisah-kisah romantis yang sering kau baca di novel-novel fiksi.

Kapan kau akan kembali? Kapan bibirmu akan membetulkan kembali kalimat-kalimat yang dulu sempat terputus. Kalimat indah yang menata waktu.  Kapan kau akan menebus dan membayar lunas rindu yang sudah memenuhi lembaran buku harianmu dulu? aku mencintaimu. Meskipun kau mematahkan banyak mimpi dalam otak.

Apa kau tak mengasihaniku? Aku selalu terkaget saat jam weker membangunkanku setiap pagi. Semua dentingnya selalu mengubur banyak harapan. Rapuh. Dan begitulah cara keanehan mempengaruhi karakter. Aku selalu berkata, “Mengapa jam weker bisa diciptakan? Orang gila mana yang mau merusak banyak mood seorang laki-laki dipagi hari.” Ya, sekarang aku sudah jadi orang gila sayang. Orang yang sangat aneh. Bertingkah lucu seolah-olah aku bahagia.

Kau masih ingat dengan kata-kata ucapanmu seperti “aku mencintaimu lebih dari waktu yang kumiliki.” Apa kau ingat? Sadarkah kau? Kau sudah melanggar kata-katamu sendiri. Kau pergi lebih dulu dariku. Menempuh perjalanan diluar garis waktu. Memaksaku untuk menulis lebih banyak kesakitan, melukis banyak sayatan. Siapa yang menyalakan mesin waktu itu sayang? apa dia seorang laki-laki. Jika ia, aku ingin sekali membunuhnya.

Hei sayang. Aku akan segera menyusulmu. Aku merindukanmu. Aku rindu saat dulu, seorang anak kecil duduk diatas kayu jendela, dan menatapmu yang juga sedang menatapku. Cinta kita dulu itu cinta anak kecil. Tapi, entah kenapa, saat itu, anak kecil seperti kita sangat jauh lebih dewasa dari mereka semua. Mereka yang menganggap diri mereka dewasa.

Ada banyak kalimat-kalimat yang terputus yang kau buat. Berserakan menjadi sampah bumi. Tak berguna. Terlalu kotor untuk dibiarkan. Hei, kembalilah untuk melanjutkan semuanya. Apa kau rela saat aku mati penasaran saat tahu potongan episode-episode itu tak berlanjut lagi?

Aku suka saat kau membuatku penasaran dengan kalimat-kalimatmu. Kau tidak pernah mengakhiri kalimatmu dengan titik sempurna. Kau menggantungnya. Membuatku selalu memaksamu untuk melanjutkannya. Dan sore itu akan berakhir dengan sebuah kecupan kecil di keningmu.

Tapi hari itu berbeda. Kecupan di keningmu dingin. Dan beberapa detik kemudian, keluar gumpalan darah di sela lubang hidungmu. Kau amat pucat. Kau menatap dengan senyuman perih. Itu adalah senyuman yang paling kubenci seumur hidup. Itulah yang membuat sayatan hidup sampai sekarang.

Sesingkat apapun waktu, sedingin apapun hujan, aku masih punya ruang berbeda. Aku mencintamu sayang.

Tuesday, August 5, 2014

Kata mereka, sajak punya rasa

Kata mereka, ada banyak hal baru yang kutemukan dalam sajakmu. Sebuah kasih baru. Sebuah renungan tentang penantian yang manis. Apakah itu tulus? Tapi tidak. Bukan. Itu hal lama. Yang kau baca adalah umpama bodoh dari seorang perindu dari yang kurindu. Tubuhku seperti pohon kaktus yang menanti air baru penerus nafas. Itu hanya kenangan yang lebih pahit dari kopi hitam yang diteguk sore hari. Lebih perih dari cabikan singa hutan lapar yang memaksa.

Kata mereka, bagimu, cinta itu pesimisme yang mendalam? Kenapa kau terlalu memaksa hati. Tapi tidak. Bukan. Yang kau baca adalah optimisme yang berlebihan. Kepercayaan rasa yang terlalu dalam, dan akhirnya membuat orang tolol sepertiku jatuh dalam banyak lembah. Lembah itu terlalu suram. Mungkin hanya orang bodoh yang mengulang kesalahan kesekian-kali dapat mengecapnya. Aku termakan lubangnya.

Kata mereka, kenapa kau tidak beranjak ke dahan lain. Memilah kembali pilihan dan menata hari lebih rapi. Tidak. Dia adalah sosok yang abadi. Dirinya mengingatkanku tentang kepercayaan terhadap takdir. Belajar dari masa lalu yang memuakkan. Dia itu seperti angin sederhana yang berhembus disekujur tubuh. Terlalu cepat untuk berlalu. Tapi tak sama dengan angin lain. Dia tak terelakkan. Dia abadi. Kokoh seperti batu karang sendirian.

Kata mereka, apa kau tak lelah dihantam hukum karma berkali-kali? Apakah sakitnya berujung lebih tajam? Tidak. Aku tak percaya hukum karma. Yang kutakuti adalah kebetulan. Kesakitan saat ini, bukanlah balasan kesalahan saat dulu. semuanya hanya kebetulan. Takdir yang merancangnya. Mengkotak-kotakkannya dalam berbagai warna. Yang ada hanya kebetulan dalam takdir yang disalah artikan  karma. Tapi sekarang, warna itu pudar, redup, tak berbekas. Tanpa kesejukan.

Kata mereka, sajakmu punya rasa. Dia seperti mengaliri banyak sendi dalam hidup. Mengenai banyak sasaran dengan akurat. Tapi tidak. Hidupku kosong. Tak ada yang bisa kulakukan selain menceritakan kekosongan yang kualami. Pandangan seperti mati rasa. Langkah seperti dahan pohon rapuh dipinggir sungai. Menunggu kematian. Menanti tenggelam.

Kata mereka, apa yang kau harapakan dalam hidup? apakah masih ada yang bisa membuatmu bertahan menapaki tanah? Jika itu yang kau tanyakan. Ya, aku punya harapan. Yang kuharapkan adalah sebuah pintu dimensi waktu. Aku ingin melaluinya dan menempuh perjalanan ketempat dia berada. Tapi tak ada gunanya. Aku seperti terpenjara. Setiap detik memegang dinginnya rangkaian besi menyebalkan dihadapanku.

Kata mereka, apa kau lelah ditanyai oleh kami? Apa kau menyesal? Mungkin ya, mungkin tidak. Kata orang, penyesalan itu ada dibelakang. Ada yang bilang penyesalan itu didepan. Tapi bagiku, penyesalan itu ditengah. Di kotak waktu yang tak sama. Kembali dan fikirkan sekali lagi.

Saturday, August 2, 2014

Pengharapan dibalik sebuah senja

Sudah berlalu beberapa tahun. Kau pergi tanpa pamit. Kau seperti tamu yang tak tahu tata krama. Tapi kenyataannya kau bukan tamu. Kau adalah pemilik rumah ini. Rumah tanpa atap yang berada dalam tubuhku. Kau menginggalkannya. Membuatnya teriris perih dan membuangnya acuh. Sakit. Seperih rasa yang kupikul selama ini. 

Kata mereka, pengharapanku tentangmu yang pergi ke alam berbeda, tak mungkin terwujud. Tapi tidak bagiku. Aku percaya, kau akan kembali denganku, bertautan dengan jemariku, mengecap kembali asinnya garam dunia. Perihnya dusta hukum alam. Aku mencintaimu, lebih dari waktu yang kumiliki.

Aku sering memarahi kenangan, kenapa kau sama sekali tak lelah bertengger dalam kepalaku. Aku sangat letih menunggu kau pergi dan membuat sarang ditempat lain. Di laki-laki lain yang bernasib sama denganku. Ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Tapi kau masih disini. Masih mengolok-olokku yang tak pernah berhenti menanti pertemuan. Mengharapkan kekosongan.

Dimana kau sekarang? Apakah kau sedang menertawakanku diatas sana? Aku yakin begitu. Aku sangat yakin kau terpingkal-pingkal saat tahu aku masih menunggumu diperempatan jalan saat kita berpisah. Dengan darahmu di atas telapak tanganku. Tapi aku hanya bisa bertautan dengan keyakinanku. Bukan kenyataan tentang hidupmu.

Apa kau sedang berbincang dengan seorang bidadari disana? Jika iya, tolong beri tahu dia, jika aku mati, aku tak ingin bertemu dengannya. Aku hanya ingin bersamamu. Bukan bersama wanita bersayap yang tak mengenalku. Aku hanya ingin ditemani olehmu. Mengecup manis bibirmu. Memelukmu erat selama yang aku mampu.

Disore ini, aku masih menatap langit senja saat kau pergi. Dengan isak tangis, yang orang anggap, tak pantas seorang lelaki melakukan hal itu. Ya, aku menangis. Apa salahnya? Lelaki lain pasti akan melakukan hal yang sama jika ia melihat kekasihnya berlumuran darah tanpa pamit kedimensi yang berbeda.

Aku berharap pada senja, agar ia mengabulkan permohonanku. Agar ia menebus banyak kerinduan, kenangan, dan lamunan yang kuhabiskan selama bertahun-tahun selama ini. Senja selalu bertanya padaku, “apakah kau masih merindukannya?”. Dari dulu, sampai sekarang, aku masih menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama. “Ya, aku masih merindukannya”.

Nasihat

Ini aneh, tapi baiklah. Halo nak, ini ayah. Ayah tak tahu kamu lelaki atau wanita, yang jelas, jikalau nanti kau sudah dewasa, dan mene...