Kedua sejoli itu masih betah duduk lesehan di bawah terik matahari.
Pasangan ini memilih untuk merayakan hari jadi mereka disebuah taman
yang sepi dari kerumunan manusia. Mereka memilih tempat itu, agar tak
ada yang bisa mengganggu kemesraan mereka. Mereka hanya ingin berdua.
Berpelukan. Berciuman. dan menghabiskan waktu mereka dihari bahagia itu.
Tak
ada kehidupan disana. Hanya ada sebuah persimpangan menuju kota.
Menikmati hari jadi mereka yang ke tiga. Mereka tertawa. Bahagia.
Beberapa ekor burung camar berpendar dari timur ke barat mengintip
kemesraan mereka. Dua capucino dingin dan beberapa roti isi menemani
siang mereka. Sangat indah dipandang mata.
Beberapa saat,
si lelaki pergi meninggalkan si gadis. Meminta izin untuk membeli sebuah
makanan ringan di kota. Si gadis mengizinkan. Si lelaki manaiki
motornya. Melawan arah angin. Menuju sebuah persimpangan yang terlihat
jelas dari taman tempat ia duduk. Si lelaki memilih salah satu dari
jalan di persimpangan. Ia mengendarai motornya. Si lelaki tak mau
membuat si gadis menunggu lama.
****
Satu
jam. Dua jam. Tiga jam berlalu. Si lelaki belum juga kembali. Si gadis
mulai cemas. Si gadis kemudian beranjak menuju persimpangan tempat si
lelaki menghilang tadi. Ia menunggu dengan sabar. Ia belum juga muncul.
Lama. Ia memilih untuk setia dalam waktu.
Sudah seharian
si gadis menanti. Si gadis mulai lelah. Ia ingin pergi. Ia marah pada si
lelaki. Tapi si gadis takut si lelaki akan kembali dan mencarinya. Si
gadis masih teguh menanti. Walaupun rasa haus mulai menghantui. Ia tetap
menunggu. Tak ada tanda-tanda si lelaki akan kembali.
Sudah
lama sekali. Si gadis tak tahan lagi. Ia sangat muak dengan kelakuan si
lelaki. Betapa teganya ia meninggalkan gadis di hari jadi mereka. Kini
kedua bola matanya mengarah pada persimpangan dihadapannya. Kini, ia
berada dalam pilihan. Ia harus memilih antara 2 jalan dihadapannya.
Jalan mana yang harus ia ikuti. Jika tidak, ia akan menjadi abu yang
tertiup angin. Emosi dalam jiwanya mulai bernegosiasi.
Si
gadis berlari meninggalkan persimpangan. Memilih satu jalan yang
dianggapnya benar. Gadis berlari dengan kencang. Melawan arah angin.
Sampai tak terlihat. Menembus kabut. Ia berlari. Terlihat samar, air
mata darinya terjatuh menbasahi jalan setapak. Air hujan mulai terjatuh
mengirinya jejaknya. Ia menghilang dipersimpangan menuju kota.
Hujan
makin deras. Tak lama setelah itu, tampak sebuah siluet dari jalan yang
berbeda. Sebuah bayangan datang dari persimpangan. Si laki-laki
kembali. Ia membawa sekantong makanan dan minuman. Tapi, si lelaki
terlihat berbeda. Dia berjalan terseok-seok tanpa motornya, dengan wajah
penuh darah dan kaki yang nampaknya patah. Ia kembali di taman saat
tadi ia meninggalkan si gadis. Si laki-laki tak mendapati si gadis.
Gadis menghilang. Si lelaki menangis.
Si lelaki menunggu.
Lama. Sangat lama. Sehari. Dua hari. Tiga hari. Si gadis belum juga
muncul. Persediaan makanan sudah habis. Si lelaki meraung. Berteriak
sekeras-kerasnya. Tak ada yang mendengar. Si lelaki kehabisan nafas. Tak
mampu lagi bergerak. Di akhir hari itu, si lelaki terbaring kaku tak
bernyawa. Tergeletak hanya dengan raga. Hujan turun amat deras.
Tuesday, August 12, 2014
Monday, August 11, 2014
Air mata si badut sulap
Riko menatapnya jauh. Seorang laki-laki yang berada dalam sebuah
kostum badut dengan hidung warna merah bulat. Ia melompat, bercanda, dan
menghibur semua orang yang menghampiri dengan sulap sederhana. Ia
terlihat bahagia, jelas dari warna kostum, sunggingan senyum di
topengnya dan perutnya yang amat besar. Riko mendekatinya lagi, ingin
melihat lebih jelas si badut.
Seorang anak kecil ingin memegang hidung merahnya. Si badut menunduk. Riko lebih mendekat. Sesaat ada yang aneh. Entah mulai sejak kapan, Riko mulai mendengar sebuah isakan. Entah dari mana. Seperti suara tangis yang tertahan. Riko amat penasaran. Riko memegang tangan si badut, tangannya bergetar. Jelas, si badut yang menangis. Bathin nya.
Setelah itu, Riko berkenalan dengan dia, dan semua ceritanya. Dia seumuran dengank Riko. Seorang mahasiswa paruh baya. Dia seorang yang berkehidupan cukup. Anak dari orangtua yang mampu dalam penghidupan anak-anaknya. Kenapa dia melakukan ini? Semua terjawab.
Setahun lalu, ia kehilangan seorang wanita. Seorang pacar. Ditinggalkan untuk selama-lamanya. Karena sebuah peristiwa tabrak lari. Penyesalan amat melingkarinya. Menyayat jiwanya. Bekas darah yang dulu membasahi telapak tangannya masih terasa dingin.
Sebelum kejadian itu, dia membuat kesalahan besar dalam hidupnya. Tak mampu membahagiakan pacarnya. Sangat banyak kesalahan yang telah si laki-laki buat. Saat dulu, dia sama sekali tak pernah memperhatikan kekasih yg bahkan tepat ada dimatanya. Meminta untuk ditemani. Ia tak peduli. Ia tak bisa menebusnya dengan baik.
Ia ingin menebus kesalahannya. Dahulu, si wanita sangat menyukai badut sulap. Badut adalah pelampiasan kebahagiaan saat si laki-laki tak peduli padanya. Ia bahagia, meskipun semu. Badut membuat harinya berwarna. Meskipun hanya berwarna kelabu.
Si laki-laki hanya ingin menjadi orang yang sempurna di mata si wanita. Meskipun sudah terlambat, ia hanya ingin menebus dan membuat si wanita tersenyum di surga. Mengampuni kesalahannya. Dengan menjadi badut, dia ingin menyatukan kebahagiaan si wanita. Membuatnya lengkap. Agar tak ada lagi kesakitan dalam jiwanya. Begitu banyak keperihan yang bahkan harus membuatnya memakai kostum badut itu untuk menyembuhkan rasa.
Menurut si badut, penyesalan sebaiknya dinikmati untuk ditebus. Terlalu sakit untuk disesali. Dengan menebusnya, itu akan membuatnya lebih tenang menjalani hari-harinya.
......
Si Riko? saat ini, dia kembali memulai aktifitas kembali. Kabar terakhir yang ia dapat, si badut sulap itu kembali menjalani aktifitasnya di sebuah almamater di makassar. Dan akhir-akhir ini, si badut sulap menulis kisahnya dengan judul “Air mata si badut sulap”.
Seorang anak kecil ingin memegang hidung merahnya. Si badut menunduk. Riko lebih mendekat. Sesaat ada yang aneh. Entah mulai sejak kapan, Riko mulai mendengar sebuah isakan. Entah dari mana. Seperti suara tangis yang tertahan. Riko amat penasaran. Riko memegang tangan si badut, tangannya bergetar. Jelas, si badut yang menangis. Bathin nya.
Setelah itu, Riko berkenalan dengan dia, dan semua ceritanya. Dia seumuran dengank Riko. Seorang mahasiswa paruh baya. Dia seorang yang berkehidupan cukup. Anak dari orangtua yang mampu dalam penghidupan anak-anaknya. Kenapa dia melakukan ini? Semua terjawab.
Setahun lalu, ia kehilangan seorang wanita. Seorang pacar. Ditinggalkan untuk selama-lamanya. Karena sebuah peristiwa tabrak lari. Penyesalan amat melingkarinya. Menyayat jiwanya. Bekas darah yang dulu membasahi telapak tangannya masih terasa dingin.
Sebelum kejadian itu, dia membuat kesalahan besar dalam hidupnya. Tak mampu membahagiakan pacarnya. Sangat banyak kesalahan yang telah si laki-laki buat. Saat dulu, dia sama sekali tak pernah memperhatikan kekasih yg bahkan tepat ada dimatanya. Meminta untuk ditemani. Ia tak peduli. Ia tak bisa menebusnya dengan baik.
Ia ingin menebus kesalahannya. Dahulu, si wanita sangat menyukai badut sulap. Badut adalah pelampiasan kebahagiaan saat si laki-laki tak peduli padanya. Ia bahagia, meskipun semu. Badut membuat harinya berwarna. Meskipun hanya berwarna kelabu.
Si laki-laki hanya ingin menjadi orang yang sempurna di mata si wanita. Meskipun sudah terlambat, ia hanya ingin menebus dan membuat si wanita tersenyum di surga. Mengampuni kesalahannya. Dengan menjadi badut, dia ingin menyatukan kebahagiaan si wanita. Membuatnya lengkap. Agar tak ada lagi kesakitan dalam jiwanya. Begitu banyak keperihan yang bahkan harus membuatnya memakai kostum badut itu untuk menyembuhkan rasa.
Menurut si badut, penyesalan sebaiknya dinikmati untuk ditebus. Terlalu sakit untuk disesali. Dengan menebusnya, itu akan membuatnya lebih tenang menjalani hari-harinya.
......
Si Riko? saat ini, dia kembali memulai aktifitas kembali. Kabar terakhir yang ia dapat, si badut sulap itu kembali menjalani aktifitasnya di sebuah almamater di makassar. Dan akhir-akhir ini, si badut sulap menulis kisahnya dengan judul “Air mata si badut sulap”.
Sunday, August 10, 2014
Kalimat yang terputus
Selamat sore kenangan. Sekarang aku duduk diatas bangku
taman saat 5 tahun lalu kau pergi. Logika ku sendiri mulai bergeser hanya karena
sebuah harapan kembalimu. Maukah kau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu
memuakkan bathin? Apa kau masih ingat dengan boneka kayu kecil yang sempat
menjadi teman dikala gerimis bulan desember saat itu? Dulu, kau menggigil
dingin, dibawah sebuah pohon akasia, kau bersandar dibahuku. Seakan-akan, aku
adalah pusat semestamu. Sebuah sweeter kecil akan melindungi kita dari ranting
pohon. Berdua. Persis seperti kisah-kisah romantis yang sering kau baca di
novel-novel fiksi.
Kapan kau akan kembali? Kapan bibirmu akan membetulkan
kembali kalimat-kalimat yang dulu sempat terputus. Kalimat indah yang menata
waktu. Kapan kau akan menebus dan
membayar lunas rindu yang sudah memenuhi lembaran buku harianmu dulu? aku
mencintaimu. Meskipun kau mematahkan banyak mimpi dalam otak.
Apa kau tak mengasihaniku? Aku selalu terkaget saat jam
weker membangunkanku setiap pagi. Semua dentingnya selalu mengubur banyak
harapan. Rapuh. Dan begitulah cara keanehan mempengaruhi karakter. Aku selalu
berkata, “Mengapa jam weker bisa
diciptakan? Orang gila mana yang mau merusak banyak mood seorang laki-laki
dipagi hari.” Ya, sekarang aku sudah jadi orang gila sayang. Orang yang
sangat aneh. Bertingkah lucu seolah-olah aku bahagia.
Kau masih ingat dengan kata-kata ucapanmu seperti “aku mencintaimu lebih dari waktu yang
kumiliki.” Apa kau ingat? Sadarkah kau? Kau sudah melanggar kata-katamu
sendiri. Kau pergi lebih dulu dariku. Menempuh perjalanan diluar garis waktu.
Memaksaku untuk menulis lebih banyak kesakitan, melukis banyak sayatan. Siapa
yang menyalakan mesin waktu itu sayang? apa dia seorang laki-laki. Jika ia, aku
ingin sekali membunuhnya.
Hei sayang. Aku akan segera menyusulmu. Aku merindukanmu.
Aku rindu saat dulu, seorang anak kecil duduk diatas kayu jendela, dan
menatapmu yang juga sedang menatapku. Cinta kita dulu itu cinta anak kecil.
Tapi, entah kenapa, saat itu, anak kecil seperti kita sangat jauh lebih dewasa
dari mereka semua. Mereka yang menganggap diri mereka dewasa.
Ada banyak kalimat-kalimat yang terputus yang kau buat. Berserakan
menjadi sampah bumi. Tak berguna. Terlalu kotor untuk dibiarkan. Hei,
kembalilah untuk melanjutkan semuanya. Apa kau rela saat aku mati penasaran
saat tahu potongan episode-episode itu tak berlanjut lagi?
Aku suka saat kau membuatku penasaran dengan
kalimat-kalimatmu. Kau tidak pernah mengakhiri kalimatmu dengan titik sempurna.
Kau menggantungnya. Membuatku selalu memaksamu untuk melanjutkannya. Dan sore itu
akan berakhir dengan sebuah kecupan kecil di keningmu.
Tapi hari itu berbeda. Kecupan di keningmu dingin. Dan
beberapa detik kemudian, keluar gumpalan darah di sela lubang hidungmu. Kau
amat pucat. Kau menatap dengan senyuman perih. Itu adalah senyuman yang paling
kubenci seumur hidup. Itulah yang membuat sayatan hidup sampai sekarang.
Sesingkat apapun waktu, sedingin apapun hujan, aku masih
punya ruang berbeda. Aku mencintamu sayang.
Tuesday, August 5, 2014
Kata mereka, sajak punya rasa
Kata mereka, ada banyak hal baru yang kutemukan dalam
sajakmu. Sebuah kasih baru. Sebuah renungan tentang penantian yang manis.
Apakah itu tulus? Tapi tidak. Bukan. Itu hal lama. Yang kau baca adalah umpama bodoh
dari seorang perindu dari yang kurindu. Tubuhku seperti pohon kaktus yang
menanti air baru penerus nafas. Itu hanya kenangan yang lebih pahit dari kopi
hitam yang diteguk sore hari. Lebih perih dari cabikan singa hutan lapar yang
memaksa.
Kata mereka, bagimu, cinta itu pesimisme yang mendalam?
Kenapa kau terlalu memaksa hati. Tapi tidak. Bukan. Yang kau baca adalah
optimisme yang berlebihan. Kepercayaan rasa yang terlalu dalam, dan akhirnya
membuat orang tolol sepertiku jatuh dalam banyak lembah. Lembah itu terlalu
suram. Mungkin hanya orang bodoh yang mengulang kesalahan kesekian-kali dapat
mengecapnya. Aku termakan lubangnya.
Kata mereka, kenapa kau tidak beranjak ke dahan lain.
Memilah kembali pilihan dan menata hari lebih rapi. Tidak. Dia adalah sosok
yang abadi. Dirinya mengingatkanku tentang kepercayaan terhadap takdir. Belajar
dari masa lalu yang memuakkan. Dia itu seperti angin sederhana yang berhembus
disekujur tubuh. Terlalu cepat untuk berlalu. Tapi tak sama dengan angin lain.
Dia tak terelakkan. Dia abadi. Kokoh seperti batu karang sendirian.
Kata mereka, apa kau tak lelah dihantam hukum karma
berkali-kali? Apakah sakitnya berujung lebih tajam? Tidak. Aku tak percaya
hukum karma. Yang kutakuti adalah kebetulan. Kesakitan saat ini, bukanlah
balasan kesalahan saat dulu. semuanya hanya kebetulan. Takdir yang
merancangnya. Mengkotak-kotakkannya dalam berbagai warna. Yang ada hanya
kebetulan dalam takdir yang disalah artikan
karma. Tapi sekarang, warna itu pudar, redup, tak berbekas. Tanpa kesejukan.
Kata mereka, sajakmu punya rasa. Dia seperti mengaliri
banyak sendi dalam hidup. Mengenai banyak sasaran dengan akurat. Tapi tidak.
Hidupku kosong. Tak ada yang bisa kulakukan selain menceritakan kekosongan yang
kualami. Pandangan seperti mati rasa. Langkah seperti dahan pohon rapuh
dipinggir sungai. Menunggu kematian. Menanti tenggelam.
Kata mereka, apa yang kau harapakan dalam hidup? apakah
masih ada yang bisa membuatmu bertahan menapaki tanah? Jika itu yang kau
tanyakan. Ya, aku punya harapan. Yang kuharapkan adalah sebuah pintu dimensi
waktu. Aku ingin melaluinya dan menempuh perjalanan ketempat dia berada. Tapi
tak ada gunanya. Aku seperti terpenjara. Setiap detik memegang dinginnya
rangkaian besi menyebalkan dihadapanku.
Kata mereka, apa kau lelah ditanyai oleh kami? Apa kau
menyesal? Mungkin ya, mungkin tidak. Kata orang, penyesalan itu ada dibelakang.
Ada yang bilang penyesalan itu didepan. Tapi bagiku, penyesalan itu ditengah.
Di kotak waktu yang tak sama. Kembali dan fikirkan sekali lagi.
Saturday, August 2, 2014
Pengharapan dibalik sebuah senja
Sudah berlalu beberapa tahun. Kau pergi tanpa pamit. Kau
seperti tamu yang tak tahu tata krama. Tapi kenyataannya kau bukan tamu. Kau
adalah pemilik rumah ini. Rumah tanpa atap yang berada dalam tubuhku. Kau menginggalkannya.
Membuatnya teriris perih dan membuangnya acuh. Sakit. Seperih rasa yang kupikul
selama ini.
Kata mereka, pengharapanku tentangmu yang pergi ke alam
berbeda, tak mungkin terwujud. Tapi tidak bagiku. Aku percaya, kau akan kembali
denganku, bertautan dengan jemariku, mengecap kembali asinnya garam dunia.
Perihnya dusta hukum alam. Aku mencintaimu, lebih dari waktu yang kumiliki.
Aku sering memarahi kenangan, kenapa kau sama sekali tak
lelah bertengger dalam kepalaku. Aku sangat letih menunggu kau pergi dan
membuat sarang ditempat lain. Di laki-laki lain yang bernasib sama denganku.
Ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Tapi kau masih disini. Masih
mengolok-olokku yang tak pernah berhenti menanti pertemuan. Mengharapkan
kekosongan.
Dimana kau sekarang? Apakah kau sedang menertawakanku diatas
sana? Aku yakin begitu. Aku sangat yakin kau terpingkal-pingkal saat tahu aku
masih menunggumu diperempatan jalan saat kita berpisah. Dengan darahmu di atas
telapak tanganku. Tapi aku hanya bisa bertautan dengan keyakinanku. Bukan
kenyataan tentang hidupmu.
Apa kau sedang berbincang dengan seorang bidadari disana?
Jika iya, tolong beri tahu dia, jika aku mati, aku tak ingin bertemu dengannya.
Aku hanya ingin bersamamu. Bukan bersama wanita bersayap yang tak mengenalku.
Aku hanya ingin ditemani olehmu. Mengecup manis bibirmu. Memelukmu erat selama
yang aku mampu.
Disore ini, aku masih menatap langit senja saat kau pergi.
Dengan isak tangis, yang orang anggap, tak pantas seorang lelaki melakukan hal
itu. Ya, aku menangis. Apa salahnya? Lelaki lain pasti akan melakukan hal yang
sama jika ia melihat kekasihnya berlumuran darah tanpa pamit kedimensi yang
berbeda.
Aku berharap pada senja, agar ia mengabulkan permohonanku.
Agar ia menebus banyak kerinduan, kenangan, dan lamunan yang kuhabiskan selama
bertahun-tahun selama ini. Senja selalu bertanya padaku, “apakah kau masih
merindukannya?”. Dari dulu, sampai sekarang, aku masih menjawab pertanyaan itu
dengan jawaban yang sama. “Ya, aku masih merindukannya”.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Nasihat
Ini aneh, tapi baiklah. Halo nak, ini ayah. Ayah tak tahu kamu lelaki atau wanita, yang jelas, jikalau nanti kau sudah dewasa, dan mene...
-
Sudah berlalu beberapa tahun. Kau pergi tanpa pamit. Kau seperti tamu yang tak tahu tata krama. Tapi kenyataannya kau bukan tamu. Kau ada...
-
Pernahkah kalian atau teman blogger mendengar prinsip seperti dibawah ini : Saya pertama kali membaca prinsip ini dari...
-
Ingatanku mengawang, waktu itu, di malam sebelum pertunjukan dimulai, di sebuah perkemahan, saya jatuh cinta pada seorang wanita sederhan...