Friday, July 29, 2016

Kelaparan Karya Tapi Gengsi

Tulisan ini teruntuk banyak orang yang mungkin belum mengerti dan sadar bahwa kreatifitas itu punya harga. Banyak diantara kita belum bisa rela mengeluarkan beberapa peser rupiah untuk membeli kreatifitas. mungkin saja belum ada yang memberi tahu. Nah, mungkin ini kesempatan saya sedikit memberikan pemahaman (cieeeeelah pret).

Kita sebagai manusia pasti butuh makan. Makan adalah kebutuhan utama. Jika tidak makan kita akan mati. Maka dari itu kita akan membeli makanan untuk membuat kita kenyang dan punya energi. Harga beras sering naik, melonjak tinggi, tapi apa boleh buat, kita akan terus membeli beras, semahal apapun. Kita akan terus bekerja untuk memenuhi kebutuhan perut. Ini kebutuhan yang sangat wajib.

Nah, saya yakin diantara kalian yang membaca ini, kalian mungkin punya tv di rumah kalian. Kalian membelinya karena membutuhkan hiburan (selain informasi). Kalian yang membaca ini pasti punya laptop/komputer atau paling tidak gadget berbentuk handphone untuk membaca blog ini. Selain untuk informasi dan komunikasi, di gadget kalian pasti mencari hiburannya. Sekarang, saya cukup yakin, manusia di negeri ini butuh hiburan. Hiburan sudah nyaris menjadi kebutuhan utama di 2.0 era. Hiburan sudah seperti nasi. Manusia banyak yang “lapar” kreatifitas tapi tidak mengakui.

Tapi sayangnya banyak diantara kita yang tidak menghargai kreatifitas di medium-medium lain, seperti hal nya buku, musik, pertunjukan seni, design visual dan lain-lain. Untuk kalian yang punya buku, pasti ada saja teman kalian yang ingin meminjam buku kalian. Dia terlihat ingin sekali membacanya. Padahal buku tersebut banyak dijual di toko buku di mall, tapi dia tidak mau membeli. Bukannya saya pelit tidak mau meminjamkan, saya malah sering meminjamkan buku saya ke orang lain dan tidak jadi masalah. Tapi saya kasihan dengan orang-orang yang suka baca ini tapi tidak mau beli buku.

Padahal untuk sekedar mengeluarkan uang untuk membeli buku tidak seberapa dibandingkan dengan dia membeli fashion item yang dia suka, kuota internet, nongkrong di coffeshop, dan lain-lain. Suka baca, tapi tidak punya buku. Ini aneh untuk saya.

Bukan cuma di buku, kita semua pasti pernah (saya juga) download lagu bajakan di google. Mungkin hanya segelintir yang tidak pernah. Tapi sayangnya banyak diantara kita yang tidak mengerti kalo yang dia lakukan itu salah. Download lagu bajakan di internet bukan berarti kau ‘kriminal’, hanya saja tidak ada yang memberi tahu kalo itu salah.

Salah satunya juga terjadi di pertunjukan/show musik, pementasan teater, malam puisi, dan sebagainya. Banyak yang tidak mau datang untuk menonton pertunjukan hanya karena show itu berbayar. Padahal mereka mengagumi senimannya.

Ini juga terjadi di bisnis design grafis. Banyak orang yang menjual design nya dengan harga murah. Bahkan banyak yang (kurang ajar) meminta gratisan. Kasihan.

Kesenian dalam banyak bentuk itu tidak mudah untuk dibuat. Dibutuhkan perjuangan. Seperti nasi, dia memulai dari bibit padi yang ditanam.
Jadi sebernarnya selama ini kita tidak sadar.
Kita butuh hiburan seperti layaknya makanan.
Karya-karya itu seperti nasi.
Dan sekarang… jika kita sudah mulai sadar kalau kita lapar akan kreatifitas itu,
Harusnya kita mulai menyisihkan sepeser rupiah untuk itu…
seperti makanan.

Tuesday, July 19, 2016

Aku Jatuh Hati Pada Tumpukan Besi Yang Bergerak Karena Manusia Memilih Pandai Berpura-pura

Menjalin kasih sekarang terasa palsu. Jatuh cinta pun rasanya tidak lagi istimewa. Pemuda-pemudi mengikat kasih bukan karena cinta lagi— walaupun mereka menyebutnya demikian —tapi karena pilihan. Sangat banyak saya melihat sepasang kekasih di tempat-tempat indah tapi tak saling bersama. Hanya tubuhnya saja yang beberapa jengkal. Sayangnya ‘mereka’ tidak ada disana. Mengabadikan saat-saat berdua dan melemparnya ke publik, hanya sekedar menggugurkan stigma sosial media dan manusia lain jikalau tak punya kekasih adalah aib di sabtu malam. Sesekali berangkatlah ketempat muda-mudi ini sering bertemu, kau akan memandang betapa sedihnya cangkir-cangkir soda restoran cepat saji itu.


Apa saya yang terlalu kolot? Apa saya yang ketinggalan jaman dengan perkembangan cara mencintai kalian sekarang? Cobalah sedikit jelaskan arti pelukanmu saat engkau pamit pulang dari tempat tinggalnya? Cobalah uraikan apa makna ciuman yang kau rasakan terakhir kali dengannya? Jika kau tak bisa menjelaskan dan berdalih beribu alasan, artinya memang pendakian malam minggu kalian kosong saja.

Saya lelah jatuh cinta dengan manusia. Mungkin saya akan menjalin kasih dengan robot di lain hari. Ya, dengan tumpukan besi dingin yang bergerak itu. Apa salahnya? Robot diprogram untuk menjadi yang saya ingin. Ini bukan hal yang tak masuk akal bukan? Karena suatu saat nanti, kalian akan menyadari bahwa manusia sekarang tak lagi bersifat seperti manusia. Saya tak menemukan cinta lagi pada banyak manusia-manusia. Mereka buta dalam lingkup perasaannya sendiri. Mereka terhanyut dalam kebutaan resiko saling memiliki satu sama lain, seperti seekor kucing yang terbawa arus sungai. 

Menjalin kasih dengan robot mungkin akan lebih menyenangkan. Robot yang di atur sedemikian rupa, akan dengan nyaris meng-amin-kan segala apa yang engkau inginkan. Tapi, apa kau tahu apa yang tak bisa kau capai saat mencintai setumpuk besi yang hidup itu? Kau tidak akan mengenal lagi sisi melankolia yang manusia miliki. Perasaan adalah hal yang tak dimiliki tumpukan besi hidup itu. Tapi sayangnya, sekarang manusia tak menggunakan ‘hati’ lagi bukan? Lalu, apa bedanya kalian dengan tumpukan besi itu? Bukan kepalsuan itu yang kalian ingin capai kan? 

Hai remaja-remaja yang merasa di mabuk asmara. Mabuk yang kau rasakan itu hanya pura-pura. Sekarang saya berfikir kalian suka mendustai diri. Melewatkan ratusan bahkan ribuan kemungkinan yang menyenangkan tanpa jadi orang lain untuk dicintai olehnya, kekasihmu. 

luthfi ramadhan, 19 juli 2016, makassar.

http://lutfiramadan.blogspot.co.id/

Nasihat

Ini aneh, tapi baiklah. Halo nak, ini ayah. Ayah tak tahu kamu lelaki atau wanita, yang jelas, jikalau nanti kau sudah dewasa, dan mene...