Sudah berlalu beberapa tahun. Kau pergi tanpa pamit. Kau
seperti tamu yang tak tahu tata krama. Tapi kenyataannya kau bukan tamu. Kau
adalah pemilik rumah ini. Rumah tanpa atap yang berada dalam tubuhku. Kau menginggalkannya.
Membuatnya teriris perih dan membuangnya acuh. Sakit. Seperih rasa yang kupikul
selama ini.
Kata mereka, pengharapanku tentangmu yang pergi ke alam
berbeda, tak mungkin terwujud. Tapi tidak bagiku. Aku percaya, kau akan kembali
denganku, bertautan dengan jemariku, mengecap kembali asinnya garam dunia.
Perihnya dusta hukum alam. Aku mencintaimu, lebih dari waktu yang kumiliki.
Aku sering memarahi kenangan, kenapa kau sama sekali tak
lelah bertengger dalam kepalaku. Aku sangat letih menunggu kau pergi dan
membuat sarang ditempat lain. Di laki-laki lain yang bernasib sama denganku.
Ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Tapi kau masih disini. Masih
mengolok-olokku yang tak pernah berhenti menanti pertemuan. Mengharapkan
kekosongan.
Dimana kau sekarang? Apakah kau sedang menertawakanku diatas
sana? Aku yakin begitu. Aku sangat yakin kau terpingkal-pingkal saat tahu aku
masih menunggumu diperempatan jalan saat kita berpisah. Dengan darahmu di atas
telapak tanganku. Tapi aku hanya bisa bertautan dengan keyakinanku. Bukan
kenyataan tentang hidupmu.
Apa kau sedang berbincang dengan seorang bidadari disana?
Jika iya, tolong beri tahu dia, jika aku mati, aku tak ingin bertemu dengannya.
Aku hanya ingin bersamamu. Bukan bersama wanita bersayap yang tak mengenalku.
Aku hanya ingin ditemani olehmu. Mengecup manis bibirmu. Memelukmu erat selama
yang aku mampu.
Disore ini, aku masih menatap langit senja saat kau pergi.
Dengan isak tangis, yang orang anggap, tak pantas seorang lelaki melakukan hal
itu. Ya, aku menangis. Apa salahnya? Lelaki lain pasti akan melakukan hal yang
sama jika ia melihat kekasihnya berlumuran darah tanpa pamit kedimensi yang
berbeda.
Aku berharap pada senja, agar ia mengabulkan permohonanku.
Agar ia menebus banyak kerinduan, kenangan, dan lamunan yang kuhabiskan selama
bertahun-tahun selama ini. Senja selalu bertanya padaku, “apakah kau masih
merindukannya?”. Dari dulu, sampai sekarang, aku masih menjawab pertanyaan itu
dengan jawaban yang sama. “Ya, aku masih merindukannya”.
No comments:
Post a Comment