Thursday, October 16, 2014

Arloji yang membohongi jarum

Kita layaknya jarum di atas sebuah arloji. Menunggu waktu untuk berhenti dan membohongi diri akan kalimat ‘kita akan terus di atas arloji’. Kita adalah jarum yang rapuh. Kita akan pergi seketika si pemilik arloji akan menghentikan putarannya. Membuat kita mati.

Apa kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sadar, aku hanyalah si jarum pendek. Yang mencintaimu dengan cara yang lamban. Tak dapat mengikutimu, yang selalu cepat dan melewatiku setiap waktu. Kau pergi dan kembali. Kau adalah jarum panjang. Melupakanku seketika kau menghampiriku. Kau adalah bayangan yang terlalu indah untuk kuabaikan.

Kita telah melewati banyak angka-angka. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. Tapi tidak dengan 13. Kata arloji, 13 itu angka sial. Arloji memang selalu percaya mitos. wajar saja. arloji sudah hidup lebih lama dari jarum.

Hai jarum panjang, berhentilah sejenak tetap di atas garisku. Aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Tapi sayangnya, jika kau menghentikan langkahmu, kau akan menyesali nya seumur hidupmu. Kau tak akan berputar lagi. Kau tak akan meraih mimpimu untuk menggenggam impianmu.

Kita pernah melewati banyak hambatan. Rinduku yang tergeletak pasrah tak kau abaikan. Kau yang ingin berhenti tapi takdir berkehendak lain. Kita bersama, tapi tak berdampingan. Aku merindukanmu. Sepenuhnya. Seutuhnya.

Sadarkah kau jarum panjang? Arloji membohongi kita berdua. Arloji tahu kita saling mencintai. Ia sengaja memberi kita kecepatan yang berbeda. Dia ingin kita belajar untuk memahami satu sama lain. Mempelajari bahwa setiap jarum itu berbeda. Pelajaran yang diajarkan arloji itu yang akan menimbulkan rasa kedewasaan. Perbedaan jarum pendek dan jarum panjang adalah warna khas bagi alas arloji.


Ya, akulah si jarum pendek. Kau si jarum panjang. Walaupun kecepatan kita berbeda, percayalah, kita sama-sama memiliki waktu yang sama. Rindu yang sama. Rasa yang sama. Aku rasa kita bisa bersama. Mencintai. Melumpuhkan sombongnya arloji yang membohongi rindu.

Sunday, October 5, 2014

Batas Dinding Pertemuan

Aku berdiri di atas tempat kau dulu berdiri. Dulu, kau berdiri ditempat aku berdiri. Sekarang, aku hanya bisa menatap senja, sembari menjaga dua tempat kita dulu berdiri. Ini permainan yang memuakkan. Andai, kita diizinkan untuk memutar lebih banyak jarum arloji lagi, mungkin aku masih bisa merangkul. Merasakan hangat dan detak jantung istimewa itu. aku rindu. Kemungkinan kau kembali tak akan pernah ada lagi. Logika siapapun menyadari itu. tapi, sore ini, aku masih melihat wajahmu. Hidupku dihiasi ceritamu. Tolong. Hentikan. Aku ingin menjalani hidupku dengan biasa. Seperti mereka.

Aku ada di antara batas dinding pertemuan. Secepat kau datang, secepat kau pergi. Bagiku, cinta yang abadi itu terlalu cepat. Hidup memang tidak pernah adil untuk beberapa manusia yang mengharapkan cinta nya. Terkadang, banyak yang pergi saat kau menikmati yang kau punya. Tuhan membagi kebahagiaan. Untuk beberapa pribadi, tuhan tak akan pernah membiarkan kita menikmati kebahagiaan yang terlalu banyak. Tidak adil kan?

Aku adalah saksi yang melihatmu melintasi batas itu. dinding yang terlalu tinggi untuk aku lewati. Mungkin, kaki ku terlalu letih untuk menemui mu disana. Aku hanya sibuk meng-egoiskan diri. Memaksa apa yang akan kupaksa. Aku menyesali semuanya. Rinduku memuncak terlalu kurang ajar.

Petikan itu masih terdengar jelas. Mendengung cepat, menceritakan semuanya. Berputar balik ke arah berbeda. Aku menunggu dengan sabar. Menunggu ia pergi. Tapi ia tidak beranjak. Aku sangat membencinya. Oh rindu, betapa munafik nya dirimu. Ada banyak orang yang patut kau jumpai, tapi kau masih merasa betah disini, di pangkuanku, seakan aku tuanmu. Satu doaku, pergilah. Carilah orang yang lebih pantas menikmati kesakitan.

Cerita-ceritaku sudah tertulis jelas dalam banyak lembaran kertas. Tersusun dalam helai-helai nya. Aku ingin sekali membuang atau membagi. Aku ingin menerbangkannya jauh. Tapi aku tak punya tempat untuk membuangnya. Aku juga tak punya teman untuk membaginya. Aku juga tak punya pesawat yang bisa menjauh dan tak kembali.


Rindu itu tak sekolah. Maka dari itu, rindu selalu datang dan pergi tanpa permisi. Rindu memang selalu memuakkan. Tak tahu adat.

Thursday, September 11, 2014

Kamu, dia dan kesakitan

Di masa lalu, begitu banyak kejadian yang menghapuskan warna cerah dari wajahku. Berpuluh-puluh kenangan yang meracuni banyak memori yang seharusnya telah terhapus oleh cerita baru dan segar. Tapi, sekarang, disaat aku menemukan dia, semua seperti terulang. Rasanya seperti tali tambang, yang mengikatku dengan begitu erat. Sangat memaksa. Kenangan sama sekali tak mengasihaniku. Aku kaku. Walaupun ini tempat ku, ia laksana raja. Ia menguasai segalanya. Bahkan perasaanku.

Semua terlihat kembali. Rumah tua, tempat yang dulu sementara kugunakan untuk tidur dan membasuh peluh, kini merunut dalam otak ku. Tentang kayu jendela tempat aku bersandar melihatnya di kejauhan. Aku masih mencintainya. Tapi, aku juga mencintai dia. Hujan di bawah pohon mangga di bulan november.

Dia pergi. Persis seperti masa lalu. Dia menghilang, persis seperti cerita yang dulu. ya, kata orang, itu semacam “de ja vu”. Tapi entah lah, aku tidak pernah terlalu yakin. Aku lelah percaya dengan “keyakinan”.

Namanya persis sama. Tapi tidak dengan nama belakang nya. Tapi orang yang berbeda. Entah sejak kapan, perasaan ku terhadapnya mulai berubah. Dari sekedar bersama sebagai seorang teman, dia membuatku mengerti, bahwa masa lalu seharusnya dilupakan. Apa cinta? Entahlah, aku tidak pernah dirancang untuk mencintai seseorang secepat ini.

Sejak dulu, aku tipe lelaki pendiam dan tak ber-ekspresi. Saat sekarang, aku hanya bisa menutupi nya dengan “akting” dalam panggung dan menutup nya dengan tertawa lepas. Semua berwarna abu-abu. Kelam. Sakit.

Saat nya menunggu. Aku bisa berbicara dengan jarum arloji. Aku tau akan berlansung lama. Ya, sebanding dengan resiko nya. Aku ingin mengakhiri masa lalu, asalkan bersamanya. Apakah dia juga menyukai. Aku tidak pernah yakin dengan keputusan ku sendiri. Tapi, aku yakin, aku akan melakukan hal yang kuinginkan.


Akhirnya aku terbebas. Aku mencintaimu. Tapi tidak sepenuhnya.

Tuesday, August 12, 2014

Gadis di persimpangan kota

Kedua sejoli itu masih betah duduk lesehan di bawah terik matahari. Pasangan ini memilih untuk merayakan hari jadi mereka disebuah taman yang sepi dari kerumunan manusia. Mereka memilih tempat itu, agar tak ada yang bisa mengganggu kemesraan mereka. Mereka hanya ingin berdua. Berpelukan. Berciuman. dan menghabiskan waktu mereka dihari bahagia itu.

Tak ada kehidupan disana. Hanya ada sebuah persimpangan menuju kota. Menikmati hari jadi mereka yang ke tiga. Mereka tertawa. Bahagia. Beberapa ekor burung camar berpendar dari timur ke barat mengintip kemesraan mereka. Dua capucino dingin dan beberapa roti isi menemani siang mereka. Sangat indah dipandang mata.

Beberapa saat, si lelaki pergi meninggalkan si gadis. Meminta izin untuk membeli sebuah makanan ringan di kota. Si gadis mengizinkan. Si lelaki manaiki motornya. Melawan arah angin. Menuju sebuah persimpangan yang terlihat jelas dari taman tempat ia duduk. Si lelaki memilih salah satu dari jalan di persimpangan. Ia mengendarai motornya. Si lelaki tak mau membuat si gadis menunggu lama.

****

Satu jam. Dua jam. Tiga jam berlalu. Si lelaki belum juga kembali. Si gadis mulai cemas. Si gadis kemudian beranjak menuju persimpangan tempat si lelaki menghilang tadi. Ia menunggu dengan sabar. Ia belum juga muncul. Lama. Ia memilih untuk setia dalam waktu.

Sudah seharian si gadis menanti. Si gadis mulai lelah. Ia ingin pergi. Ia marah pada si lelaki. Tapi si gadis takut si lelaki akan kembali dan mencarinya. Si gadis masih teguh menanti. Walaupun rasa haus mulai menghantui. Ia tetap menunggu. Tak ada tanda-tanda si lelaki akan kembali.

Sudah lama sekali. Si gadis tak tahan lagi. Ia sangat muak dengan kelakuan si lelaki. Betapa teganya ia meninggalkan gadis di hari jadi mereka. Kini kedua bola matanya mengarah pada persimpangan dihadapannya. Kini, ia berada dalam pilihan. Ia harus memilih antara 2 jalan dihadapannya. Jalan mana yang harus ia ikuti. Jika tidak, ia akan menjadi abu yang tertiup angin. Emosi dalam jiwanya mulai bernegosiasi.

Si gadis berlari meninggalkan persimpangan. Memilih satu jalan yang dianggapnya benar. Gadis berlari dengan kencang. Melawan arah angin. Sampai tak terlihat. Menembus kabut. Ia berlari. Terlihat samar, air mata darinya terjatuh menbasahi jalan setapak. Air hujan mulai terjatuh mengirinya jejaknya. Ia menghilang dipersimpangan menuju kota.

Hujan makin deras. Tak lama setelah itu, tampak sebuah siluet dari jalan yang berbeda. Sebuah bayangan datang dari persimpangan. Si laki-laki kembali. Ia membawa sekantong makanan dan minuman. Tapi, si lelaki terlihat berbeda. Dia berjalan terseok-seok tanpa motornya, dengan wajah penuh darah dan kaki yang nampaknya patah. Ia kembali di taman saat tadi ia meninggalkan si gadis. Si laki-laki tak mendapati si gadis. Gadis menghilang. Si lelaki menangis.

Si lelaki menunggu. Lama. Sangat lama. Sehari. Dua hari. Tiga hari. Si gadis belum juga muncul. Persediaan makanan sudah habis. Si lelaki meraung. Berteriak sekeras-kerasnya. Tak ada yang mendengar. Si lelaki kehabisan nafas. Tak mampu lagi bergerak. Di akhir hari itu, si lelaki terbaring kaku tak bernyawa. Tergeletak hanya dengan raga. Hujan turun amat deras.

Monday, August 11, 2014

Air mata si badut sulap

Riko menatapnya jauh. Seorang laki-laki yang berada dalam sebuah kostum badut dengan hidung warna merah bulat. Ia melompat, bercanda, dan menghibur semua orang yang menghampiri dengan sulap sederhana. Ia terlihat bahagia, jelas dari warna kostum, sunggingan senyum di topengnya dan perutnya yang amat besar. Riko mendekatinya lagi, ingin melihat lebih jelas si badut.

Seorang anak kecil ingin memegang hidung merahnya. Si badut menunduk. Riko lebih mendekat. Sesaat ada yang aneh. Entah mulai sejak kapan, Riko mulai mendengar sebuah isakan. Entah dari mana. Seperti suara tangis yang tertahan. Riko amat penasaran. Riko memegang tangan si badut, tangannya bergetar. Jelas, si badut yang menangis. Bathin nya.

Setelah itu, Riko berkenalan dengan dia, dan semua ceritanya. Dia seumuran dengank Riko. Seorang mahasiswa paruh baya. Dia seorang yang berkehidupan cukup. Anak dari orangtua yang mampu dalam penghidupan anak-anaknya. Kenapa dia melakukan ini? Semua terjawab.

Setahun lalu, ia kehilangan seorang wanita. Seorang pacar. Ditinggalkan untuk selama-lamanya. Karena sebuah peristiwa tabrak lari. Penyesalan amat melingkarinya. Menyayat jiwanya. Bekas darah yang dulu membasahi telapak tangannya masih terasa dingin.

Sebelum kejadian itu, dia membuat kesalahan besar dalam hidupnya. Tak mampu membahagiakan pacarnya. Sangat banyak kesalahan yang telah si laki-laki buat. Saat dulu, dia sama sekali tak pernah memperhatikan kekasih yg bahkan tepat ada dimatanya. Meminta untuk ditemani. Ia tak peduli. Ia tak bisa menebusnya dengan baik.

Ia ingin menebus kesalahannya. Dahulu, si wanita sangat menyukai badut sulap. Badut adalah pelampiasan kebahagiaan saat si laki-laki tak peduli padanya. Ia bahagia, meskipun semu. Badut membuat harinya berwarna. Meskipun hanya berwarna kelabu.

Si laki-laki hanya ingin menjadi orang yang sempurna di mata si wanita. Meskipun sudah terlambat, ia hanya ingin menebus dan membuat si wanita tersenyum di surga. Mengampuni kesalahannya. Dengan menjadi badut, dia ingin menyatukan kebahagiaan si wanita. Membuatnya lengkap. Agar tak ada lagi kesakitan dalam jiwanya. Begitu banyak keperihan yang bahkan harus membuatnya memakai kostum badut itu untuk menyembuhkan rasa.

Menurut si badut, penyesalan sebaiknya dinikmati untuk ditebus. Terlalu sakit untuk disesali. Dengan menebusnya, itu akan membuatnya lebih tenang menjalani hari-harinya.
......

Si Riko? saat ini, dia kembali memulai aktifitas kembali. Kabar terakhir yang ia dapat, si badut sulap itu kembali menjalani aktifitasnya di sebuah almamater di makassar. Dan akhir-akhir ini, si badut sulap menulis kisahnya dengan  judul “Air mata si badut sulap”.

Sunday, August 10, 2014

Kalimat yang terputus

Selamat sore kenangan. Sekarang aku duduk diatas bangku taman saat 5 tahun lalu kau pergi. Logika ku sendiri mulai bergeser hanya karena sebuah harapan kembalimu. Maukah kau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu memuakkan bathin? Apa kau masih ingat dengan boneka kayu kecil yang sempat menjadi teman dikala gerimis bulan desember saat itu? Dulu, kau menggigil dingin, dibawah sebuah pohon akasia, kau bersandar dibahuku. Seakan-akan, aku adalah pusat semestamu. Sebuah sweeter kecil akan melindungi kita dari ranting pohon. Berdua. Persis seperti kisah-kisah romantis yang sering kau baca di novel-novel fiksi.

Kapan kau akan kembali? Kapan bibirmu akan membetulkan kembali kalimat-kalimat yang dulu sempat terputus. Kalimat indah yang menata waktu.  Kapan kau akan menebus dan membayar lunas rindu yang sudah memenuhi lembaran buku harianmu dulu? aku mencintaimu. Meskipun kau mematahkan banyak mimpi dalam otak.

Apa kau tak mengasihaniku? Aku selalu terkaget saat jam weker membangunkanku setiap pagi. Semua dentingnya selalu mengubur banyak harapan. Rapuh. Dan begitulah cara keanehan mempengaruhi karakter. Aku selalu berkata, “Mengapa jam weker bisa diciptakan? Orang gila mana yang mau merusak banyak mood seorang laki-laki dipagi hari.” Ya, sekarang aku sudah jadi orang gila sayang. Orang yang sangat aneh. Bertingkah lucu seolah-olah aku bahagia.

Kau masih ingat dengan kata-kata ucapanmu seperti “aku mencintaimu lebih dari waktu yang kumiliki.” Apa kau ingat? Sadarkah kau? Kau sudah melanggar kata-katamu sendiri. Kau pergi lebih dulu dariku. Menempuh perjalanan diluar garis waktu. Memaksaku untuk menulis lebih banyak kesakitan, melukis banyak sayatan. Siapa yang menyalakan mesin waktu itu sayang? apa dia seorang laki-laki. Jika ia, aku ingin sekali membunuhnya.

Hei sayang. Aku akan segera menyusulmu. Aku merindukanmu. Aku rindu saat dulu, seorang anak kecil duduk diatas kayu jendela, dan menatapmu yang juga sedang menatapku. Cinta kita dulu itu cinta anak kecil. Tapi, entah kenapa, saat itu, anak kecil seperti kita sangat jauh lebih dewasa dari mereka semua. Mereka yang menganggap diri mereka dewasa.

Ada banyak kalimat-kalimat yang terputus yang kau buat. Berserakan menjadi sampah bumi. Tak berguna. Terlalu kotor untuk dibiarkan. Hei, kembalilah untuk melanjutkan semuanya. Apa kau rela saat aku mati penasaran saat tahu potongan episode-episode itu tak berlanjut lagi?

Aku suka saat kau membuatku penasaran dengan kalimat-kalimatmu. Kau tidak pernah mengakhiri kalimatmu dengan titik sempurna. Kau menggantungnya. Membuatku selalu memaksamu untuk melanjutkannya. Dan sore itu akan berakhir dengan sebuah kecupan kecil di keningmu.

Tapi hari itu berbeda. Kecupan di keningmu dingin. Dan beberapa detik kemudian, keluar gumpalan darah di sela lubang hidungmu. Kau amat pucat. Kau menatap dengan senyuman perih. Itu adalah senyuman yang paling kubenci seumur hidup. Itulah yang membuat sayatan hidup sampai sekarang.

Sesingkat apapun waktu, sedingin apapun hujan, aku masih punya ruang berbeda. Aku mencintamu sayang.

Tuesday, August 5, 2014

Kata mereka, sajak punya rasa

Kata mereka, ada banyak hal baru yang kutemukan dalam sajakmu. Sebuah kasih baru. Sebuah renungan tentang penantian yang manis. Apakah itu tulus? Tapi tidak. Bukan. Itu hal lama. Yang kau baca adalah umpama bodoh dari seorang perindu dari yang kurindu. Tubuhku seperti pohon kaktus yang menanti air baru penerus nafas. Itu hanya kenangan yang lebih pahit dari kopi hitam yang diteguk sore hari. Lebih perih dari cabikan singa hutan lapar yang memaksa.

Kata mereka, bagimu, cinta itu pesimisme yang mendalam? Kenapa kau terlalu memaksa hati. Tapi tidak. Bukan. Yang kau baca adalah optimisme yang berlebihan. Kepercayaan rasa yang terlalu dalam, dan akhirnya membuat orang tolol sepertiku jatuh dalam banyak lembah. Lembah itu terlalu suram. Mungkin hanya orang bodoh yang mengulang kesalahan kesekian-kali dapat mengecapnya. Aku termakan lubangnya.

Kata mereka, kenapa kau tidak beranjak ke dahan lain. Memilah kembali pilihan dan menata hari lebih rapi. Tidak. Dia adalah sosok yang abadi. Dirinya mengingatkanku tentang kepercayaan terhadap takdir. Belajar dari masa lalu yang memuakkan. Dia itu seperti angin sederhana yang berhembus disekujur tubuh. Terlalu cepat untuk berlalu. Tapi tak sama dengan angin lain. Dia tak terelakkan. Dia abadi. Kokoh seperti batu karang sendirian.

Kata mereka, apa kau tak lelah dihantam hukum karma berkali-kali? Apakah sakitnya berujung lebih tajam? Tidak. Aku tak percaya hukum karma. Yang kutakuti adalah kebetulan. Kesakitan saat ini, bukanlah balasan kesalahan saat dulu. semuanya hanya kebetulan. Takdir yang merancangnya. Mengkotak-kotakkannya dalam berbagai warna. Yang ada hanya kebetulan dalam takdir yang disalah artikan  karma. Tapi sekarang, warna itu pudar, redup, tak berbekas. Tanpa kesejukan.

Kata mereka, sajakmu punya rasa. Dia seperti mengaliri banyak sendi dalam hidup. Mengenai banyak sasaran dengan akurat. Tapi tidak. Hidupku kosong. Tak ada yang bisa kulakukan selain menceritakan kekosongan yang kualami. Pandangan seperti mati rasa. Langkah seperti dahan pohon rapuh dipinggir sungai. Menunggu kematian. Menanti tenggelam.

Kata mereka, apa yang kau harapakan dalam hidup? apakah masih ada yang bisa membuatmu bertahan menapaki tanah? Jika itu yang kau tanyakan. Ya, aku punya harapan. Yang kuharapkan adalah sebuah pintu dimensi waktu. Aku ingin melaluinya dan menempuh perjalanan ketempat dia berada. Tapi tak ada gunanya. Aku seperti terpenjara. Setiap detik memegang dinginnya rangkaian besi menyebalkan dihadapanku.

Kata mereka, apa kau lelah ditanyai oleh kami? Apa kau menyesal? Mungkin ya, mungkin tidak. Kata orang, penyesalan itu ada dibelakang. Ada yang bilang penyesalan itu didepan. Tapi bagiku, penyesalan itu ditengah. Di kotak waktu yang tak sama. Kembali dan fikirkan sekali lagi.

Saturday, August 2, 2014

Pengharapan dibalik sebuah senja

Sudah berlalu beberapa tahun. Kau pergi tanpa pamit. Kau seperti tamu yang tak tahu tata krama. Tapi kenyataannya kau bukan tamu. Kau adalah pemilik rumah ini. Rumah tanpa atap yang berada dalam tubuhku. Kau menginggalkannya. Membuatnya teriris perih dan membuangnya acuh. Sakit. Seperih rasa yang kupikul selama ini. 

Kata mereka, pengharapanku tentangmu yang pergi ke alam berbeda, tak mungkin terwujud. Tapi tidak bagiku. Aku percaya, kau akan kembali denganku, bertautan dengan jemariku, mengecap kembali asinnya garam dunia. Perihnya dusta hukum alam. Aku mencintaimu, lebih dari waktu yang kumiliki.

Aku sering memarahi kenangan, kenapa kau sama sekali tak lelah bertengger dalam kepalaku. Aku sangat letih menunggu kau pergi dan membuat sarang ditempat lain. Di laki-laki lain yang bernasib sama denganku. Ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Tapi kau masih disini. Masih mengolok-olokku yang tak pernah berhenti menanti pertemuan. Mengharapkan kekosongan.

Dimana kau sekarang? Apakah kau sedang menertawakanku diatas sana? Aku yakin begitu. Aku sangat yakin kau terpingkal-pingkal saat tahu aku masih menunggumu diperempatan jalan saat kita berpisah. Dengan darahmu di atas telapak tanganku. Tapi aku hanya bisa bertautan dengan keyakinanku. Bukan kenyataan tentang hidupmu.

Apa kau sedang berbincang dengan seorang bidadari disana? Jika iya, tolong beri tahu dia, jika aku mati, aku tak ingin bertemu dengannya. Aku hanya ingin bersamamu. Bukan bersama wanita bersayap yang tak mengenalku. Aku hanya ingin ditemani olehmu. Mengecup manis bibirmu. Memelukmu erat selama yang aku mampu.

Disore ini, aku masih menatap langit senja saat kau pergi. Dengan isak tangis, yang orang anggap, tak pantas seorang lelaki melakukan hal itu. Ya, aku menangis. Apa salahnya? Lelaki lain pasti akan melakukan hal yang sama jika ia melihat kekasihnya berlumuran darah tanpa pamit kedimensi yang berbeda.

Aku berharap pada senja, agar ia mengabulkan permohonanku. Agar ia menebus banyak kerinduan, kenangan, dan lamunan yang kuhabiskan selama bertahun-tahun selama ini. Senja selalu bertanya padaku, “apakah kau masih merindukannya?”. Dari dulu, sampai sekarang, aku masih menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sama. “Ya, aku masih merindukannya”.

Tuesday, July 29, 2014

Standup comedy

     Semenjak saya kecil, saya sering menonton "warkop dki" dan "bajai bajuri". dan disitulah salah satu awal mula saya menyukai komedi. dan 3 tahun terakhir, muncul sebuah fenomena baru di bidang perlawakan. hal itu disebut standup comedy. standup comedy adalah kesenian, dimana seorang membawakan sebuah jokes/bahan lawak, dengan hanya bermodal mic, materi yang ditulis, dan sebuah panggung. standup comedy juga sering disebut sebagai komedi cerdas, karena materi-materinya yang kadang membuat orang berfikir. orang yang membawakan standup comedy disebut dengan istilah 'comic/comica'.
     Saya mengenal standup comedy berawal dari menonton di youtube, dan akhirnya muncul di pertelevisian swasta. dan kecintaan saya pada kesenian ini memuncak semenjak saya mengenal komunitasnya. dan apalagi ada di makassar, tempat saya sekarang menetap dan bernafas. ( @StandUpIndoMKSR ) . disana saya terus berlatih dan open mic ( istilah latihan seorang comic/standup comedian ) dengan terus membuat materi-materi baru yang segar dan tentunya lucu. standup comedy itu menggunakan banyak tehnik, dan tentunya amat berbeda dengan seni komedi yang lain. materi yang disusun, cenderung terstruktur dan rapih. yang dimulai dari setup ( persiapan kalimat dari seorang comic untuk menuju punchline ) yang akhirnya menimbulkan puncline ( hasil tawa yang diakibatkan dari sebuah jokes ).
    Standup comedy itu bukan kesenian lawak biasa yang sering anda nonton di tv. standup comedy bukan semata-mata untuk melucu di depan penonton. standup comedy adalah sebuah alat bagi seseorang, untuk menyampaikan sebuah keresahan pribadi yang dibalut dengan komedi. keresahan tentang keluarga, pergaulan, perilaku yang menyimpang, politik, bahkan hukum. standup comedy juga adalah wadah bagi seseorang untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap orang tidak penting. standup comedy adalah sesuatu untuk menyampaikan topik minoritas yang terlewatkan oleh pandangan mata. tak tercium indra. terlupakan oleh mayoritas. standup comedy mempunyai misi yang besar, untuk merubah negeri ini kearah yang lebih baik dari sebelumnya.

Monday, July 21, 2014

A Reader’s


            Dari dulu saya sudah senang membaca. Ketertarikan saya dalam membaca melebihi anak-anak lain seusia saya waktu itu. Masih persis sama hingga sekarang. Hobi itu masih saja terbiasakan. Saya rasa, dengan membaca, saya bisa menemukan hal-hal baru didunia ini. Buku cerita, adalah literatur yang paling saya sukai sewaktu kecil. Entah kenapa, saya sangat tertarik dengan alur-alur cerita di banyak buku yang saya miliki.
 Berbeda dengan anak-anak yang lain, yang lebih menyukai dunia bermain dengan teman-teman sebayanya, menghabiskan waktu di warnet berjam-jam, saya lebih memilih menghabiskan waktu dikamar untuk membaca banyak cerita dongeng. Saya seperti dihipnotis saat membaca kata per kata, kalimat per kalimat, halaman per halaman didalam buku.
            Biasanya, dari alur cerita sebuah buku, saya selalu dibuat kaget. Dengan ketegangan, kesedihan, dan ide-ide yang amat luar biasa out of the box. Sangat sulit menemukan alasan bagaimana seseorang bisa menulis dan menjiwainya. Rasa penasaran itulah yang membuat saya sekarang menekuni dunia kepenulisan. Mencintainya. Ya, bisa dibilang ‘sebuah pembalasan dendam masa kecil’.
             Dari hobi membaca inilah, dan dari dongeng-dongeng masa kanak-kanak, saya sangat mencitai dunia fiksi, dunia fantasi yang orang anggap tidak penting dan tidak pernah ada. Saya sering dianggap tolol, bodoh, dan tidak realistis terhadap kehidupan nyata. Tapi saya mencintainya, sama seperti seseorang yang mencintai pacarnya, seorang bapak yang mencintai istrinya, hamba yang mencintai tuhannya, saya sama dengan mereka. Saya sangat mencintai dongeng dan cerita-cerita lama. Cinta tak mengenal alasan, bukan?
            Sekarang saya aktif menulis dibanyak media sosial, blog, facebook, dan twitter. Menyampaikan semua keresahan tentang hidupku sendiri. Itu sangat menyenangkan. Dan satu impian saya yang belum terwujud, yaitu menulis 5 buah buku fiksi. Prosesnya sudah lama dikerjakan. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dikirim kepenerbit atau jika bisa, saya ingin menerbitkannya sendiri. Dan harapanku, semoga kalian, pembaca blog-ku, mendapatkan hal baru didalamnya. Tik tok. Yaw.

Presiden yang memimpin. Bukan cuma presiden.

               Sembilan juli 2014. 10 hari setelah saya menulis ini. Itu adalah hari pertama kalinya saya mengikuti pilpres. Menurut saya sendiri, hari itu adalah pemilu paling antusias yang pernah ada di negara ini. Saat itu, saya sangat merasa beruntung. Ada banyak alasan. Salah satunya adalah hanya ada 2 calon pasangan presiden dan wakilnya. Unik. Sangat berbeda dengan yang dahulu.
    Dimata saya, dulu, pemilu itu hanyalah embel-embel formalitas untuk mengatas namakan demokrasi yang dianut negara ini. Tapi sekarang, rasa cinta terhadap negara dan orang-orang baik yang mengubahnya.
                Salah satu dari calon ini, menarik perhatian saya. Dia adalah seorang yang dulu menjadi walikota di solo. Seseorang yang sederhana dan berwibawa. Entah kenapa, semua orang mengeluh-eluhkannya. Meneriakkan namanya. Seorang laki-laki yang dikenal dengan baju kotak-kotaknya.
                Setelah saya cari tahu, ternyata dia adalah seorang metalhead ( penikmat musik metal ). Sama seperti saya. Saya kaget. Ternyata, masih ada sosok pemimpin yang masih mencintai musik keras pembangkit semangat, yang sebelumnya saya mengenang bapak Soekarno, presiden pertama indonesia adalah seorang anak punk.
                Berbeda lagi lawannya. Saya sudah tahu dia. Dia adalah bagian dari masa lalu. Dari dulu dia sudah menampakkan dirinya ingin menjadi presiden dengan iklan di tivi. Semua orang tahu itu. Banyak yang ganjil darinya. Dia adalah seorang yang dulunya pemimpin sebuah batalion di anggota militer. Ya, persis sama dengan soeharto, yang menguasai tanah ini selama 32 tahun. Ya, juga sama dengan sby, yang 2 periode ini, memimpin kita, dengan prestasi luar biasa, yaitu 4 album, yang satupun lagunya saya tidak tahu judulnya. Saya tidak mau lagi dipimpin oleh anggota militer. Sakit.
                Banyak dari orang-orang yang dulunya tidak pernah menggunakan hak pilihnya, sekarang menghapus tanda golongan putih dari jejak langkahnya. Entah seberapa istimewanya orang ini. Keistimewaan yang sederhana.
                Indonesia sangat merindukan pemimpin yang bersih dan pro rakyat. Dari dulu, banyak yang mengaku-ngaku sebagai wakil rakyat, yang akhirnya tidur digedung DPR tanpa rasa malu. Seperti binatang. Sekarang, ada seorang pemimpin yang betul-betul dekat dengan rakyat, entah kenapa masih banyak yang mampu dibelokkan isu dan fitnah.
Saya berharap, pilihan saya, yang saya anggap bisa menjadi pemimpin yang mampu merubah indonesia kearah yang lebih baik lagi, bisa mengamban amanah, dan menepati janji-janjinya. Aamiin.

Saturday, April 26, 2014

Nilai Untuk Anakku

Sampai sekarang saya masih bingung. Kenapa orang tua, atau anak-anak yang bersekolah, terkesan mementingkat nilai atau peringkat saat masih atau yang sekarang bersekolah. Mereka terkesan mendewakan sebuah deretan angka yang disebut ranking. Padahal, kalau menurut saya pribadi, nilai itu hanya simbol dan sangat amat tidak berpengaruh dengan peningkatan presentase belajar seorang anak. Apalagi di indonesia, nilai adalah sesuatu yang bisa dipermainkan. Perputaran logika pemikiran pada sebuah nilai dapat di pelintir secepat membalikkan telapak tangan. Mereka melupakan satu hal yang penting, yaitu ilmu dan wawasan anak-anaknya.

Mereka ingin mempunyai anak yang mendapatkan pekerjaan yang baik. Dan sangat susah untuk menghapus sistem berfikir yang menganggap "jika nilaimu tinggi, maka pekerjaanmu akan bagus". ini bisa saja benar. tapi tidak sepenuhnya benar.

Banyak orang yang di luar sana tidak bersekolah dan sukses dengan pekerjaan yang luar biasa. Menurut saya, nilai hanyalah sebuah formalitas untuk mendapatkan gelar dan ijazah yang mumpuni. selama ada buku & google, saya tidak pernah khawatir soal ilmu.

Memang sangat sulit untuk membuat pemikiran yang seolah-olah sudah menjadi "budaya". Tapi, ini belum terlambat. Kita hanya perlu sedikit merubah cara berfikir. dan kembali merenungi tujuan apa yang pertama kali kita idamkan saat menuju ke sekolah.

*ngerti maksud saya?

Ya, terima kasih.

Sunday, April 6, 2014

Minusnya nurani indonesia

Kalian ingat kasus soal satinah? salah seorang tkw di arab yang akan di hukum pancung di arab karena membunuh dan mencuri? Ini bisa dicegah jika kita bisa membayar uang darah sebanyak 21 miliyar.
Baru-baru ini, saya dan teman-teman KIP ( Komunitas Indonesia Peduli ) melakukan sebuah usaha untuk membebaskan satinah dari hukuman gantung ini. Salah satu usaha kami adalah melakukan penggalangan dana untuk sumbansi sepeser demi sepeser.
Pada saat itu, saya meng-upload sebuah info tentang itu di facebook. Ada yang mengomentarinya. Isinya adalah..

"Untuk apa menolong orang yang melakukan pembunuhan dan pencurian? itukan sudah pantas untuk di hukum.."

Saya rasa, kalian tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Satinah melakukan itu karena di arab, dia disiksa oleh majikannya setiap hari. Dia tidak diberi makan dan  diperlakukan seperti binatang. Diluar itu, saya merasa miris dengan pemerintah indonesia. Belum ada yang mereka lakukan untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Tak ada sepeserpun yang keluar dari uang kas negara. Padahal, satinah dan kawan-kawannya, menyumbangkan 83 sampai 100 triliyun setiap tahun ke negara. Dan apa balasannya?

"Lalu, bagaimana dengan ribuan orang-orang indonesia yang mati kelaparan? bukankah kita terlalu naif untuk menolong satu orang dengan uang sebanyak 21 miliyar?"

Ribuan orang? saya tidak yakin dengan itu. Jika misalnya satinah tidak tertolong, apakah pemerintah dan kalian akan melakukan hal yang sama dan mensejahterahkan ribuan orang indonesia? apakah masalah busung lapar dan kelangkaan air bersih akan tuntas di negara ini? belajarlah untuk menolong satu orang dulu, sampai saatnya kalian akan berguna untuk ribuan orang.

Satu yang harus kalian tau. Satinah juga orang indonesia, dan dia juga pantas mendapatkan apa yang kita dapatkan. Yaitu hidup. SEKARANG BUKAN SAATNYA UNTUK BERDEBAT SIAPA YANG SALAH, TAPI INI TENTANG SIAPA YANG PEDULI.. #SAVESATINAH..
I will pray for this. I think, nothing imposible for indonesian human..

Sunday, March 30, 2014

About writing

Saya terkadang bingung menjawab pertanyaan seperti :
"Kak, cara nulis yang baik gimana?"
"Ajarin verbal yang keren dong kk"
"Baiknya mulai nulis dari mana?"

Sebenernya sih, semua orang punya kemampuan menulis. tapi, jarang ada yang mengasah dan mendapatkan karakter tersendiri didalamnya. Saran saya buat penulis pemula sih, perbanyak jam terbang aja. Karena, kalau kalian rajin latihan setiap hari (bukan hanya karena ada waktu) aku yakin kalian bakalan bisa. Perbanyak refrensi dan sering bertanya adalah cara yang ampuh. Untuk kalian yang pengen jadi penulis, seringlah membaca. Karena untuk menulis, kalian nggak perlu pinter, tapi harus berwawasan. Bedanya berwawasan dengan pinter adalah kalian cuma perlu tau banyak hal yang nggak berkaitan dengan akademisi. It's like a joke and something like that. Bercanda juga termasuk refrensi nulis loh :) perbanyak obrolan dengan teman atau sahabat kalian. Karena, terkadang banyak hal yang bisa kalian dapat dengan itu. Saya termasuk orang yang sering memakai tehnik ini. Malas? itu memang hal terberat yang sering menimpa para penulis pemula. Tapi, kalo kalian emang serius buat nekunin ini, nothing imposible sih. Intinya, jangan patah semangat kalo tulisannya jelek atau kurang berbobot. Diamkan dulu. Dan cari waktu yang pas buat kembangin premis-premis penting di tulisan kamu. bye ;)

Monday, February 17, 2014

Wajah Tanpa Ekspresi

Aku bisa menjawabnya. Aku yakin. Sudah banyak pertanyaan sebelum ini yang bahkan membuat diriku sendiri bertanya-tanya tentang hidupku. Geming. Lamunan yang berwarna senja masih beth bertengger disana. Dia adalah sepercik sosok kekelaman yang aku panggil 'masa lalu'. Dia tak pernah bosan di sini. Tepat di dalam otakku. Memori yang penuh karna kebencian dan penyesalan. Dan dosa adalah kado yang baik untuk penyesalan. Masa lalu selalu di beri kado kenangan, hadiah kesedihan. Entah mengapa. Aku kira hanya aku. Aku tak tau ada orang lain. Wajahku ini. Wajah yang warnanya masih tertinggal di suatu tempat. Tempat yang kedap suara. Kedap cahaya, yang bahkan tuhan tak tau tempat itu. Sudah beribu nostalgia dan dejavu yang mengelilingi benakku. Seperti udara yang tak lelah mengitarimu setiap hari. Mereka bergerombol dan tak memikirkan perasaanku. Seakan aku hanyalah pengunjung. Merekalah tuan rumahnya. Mereka yang mengizinkanku masuk. Aku nyaris tak berdaya. Mereka yang berkuasa. Mereka menyelipkan rasa pahit di sekujur tubuhku. Aku tau mereka membenciku. Entah apa salah di masa lampau yang membuatku harus membalas semua ini. Aku tak pernah bisa pergi dengan sempurna. Setiap malam, sungguh, aku berumah dalam sepi. Tepat dibulan januari yang penuh hujan, aku sepi sempurna. Menatap kegelapan dengan  mata kosongku. Asa dan harapan tak ada lagi. Yang ada hanya kebohongan dan kepalsuan. Tak ada yang nyata. Semua yang kualami saat ini hanya semu semata. Persis lentera malam yang hampir redup. Aku juga masih merasa takut. Takut mengiris manusia dengan kataku. Tak ada yang istimewa. Merekalah penyebabnya. Perusak kebahagiaanku. Aku tak pernah merasakannya lagi selama ini. Aku ingin.Tapi sudah tak bisa. dan tak akan bisa. Aku harap kau mengerti, kenapa aku seperti ini. Laki-laki tak memiliki ekspresi. Laki-laki yang tak memiliki warna. Aku adalah kegelapan. Dan aku tak akan pernah berhenti untuk mencarinya kembali..

Tuesday, February 11, 2014

Cinta tak butuh jawaban

Pagi itu aku terbangun dari tidur panjangku. Menatap sekitar dengan nanar. Tak mengerti apa yang teradi kemarin. Dulu. Sekarang, aku bingung dengan atmosfer kamarku. Seakan ada yang berubah. Setelah lama ku telaah, ya aku ingat. Aku sudah ingat.
   Semalam aku merasakan hal yang paling aku benci dalam hidupku. Yaitu penolakan. Semua hal itu membuatku muak hidup didunia. Seakan tak ada gunanya aku hidup jika aku tak medapatkan semua yang kuinginkan. Aku marah. Aku kesal. Tapi, baru kali ini aku merasakan sesuatu yang lain. Ini seperti rasa tak ingin pergi. Aku ingin selalu disampingnya. Merasakan setiap hembusan nafasnya. Menjaganya. Tapi, dia menolakku sebagai kekasih hatinya. Aku ingin menetap dan memberikan semua kehangatan dlam jiwaku jika ia kedinginan. Aku ingin mengorbankan apapun. Tapi, sekali lagi, dia menolakku sebagai kekasih hatinya.
   Aku sangat marah. Kini aku lemas. Terkulai. Tak tau apa yang harus kulakukan. Hal itu buyar seketika ketika ada bisikan kecil dalam diriku. Bisikan itu berkata, "kau harus tetap tinggal. apapun itu, kau harus tetap tinggal." Aku tersentak. Siapa dia? berani-beraninya menggangguku di pagi penuh privasi ku ini. Memang dia siapa?
   Tak lama, kurasa ia menjawab. Tak kusangka ia menimpaliku. "Aku adalah kamu. Kamu adalah aku. Aku adalah bagian dari dirimu. Jika kau bertanya siapa aku, hanya kamu yang bisa menjawabnya".
   Aku sadar. Aku tau siapa dia. Aku berfikir dan terus berfikir. Dan akhirnya aku menemukan sebuah pencerahan. Pencerahan untuk masa depanku nanti. Ini aku, ini dunia fiksiku. Segera ku ambil handphone yang tergeletak di atas kasur yg tadi malam aku lempar karna kesalnya. Aku menuliskan sajak itu untuknya. Ya untuk dia. Bukan kekasih hatiku. Tapi jodohku. Masa depanku. Bunyinya seperti ini :

   "Maafin aku. Semalam aku kesal. Kesal karena kamu nggak nerima aku jadi pacar kamu. Tapi, sekarang aku sadar. Sadar dengan alasan kamu nggak nerima aku. Aku cuma mau jagain kamu. Cuma itu. Kalo soal pertanyaan kamu semalam soal apa alasan aku cinta sama kamu. Aku udah nemu jawabannya. Cinta itu nggak butuh alasan. Aku paham, paham dan ngerti kalo aku itu buat kamu. Bukan masalah status pacar ato nggak nya. Aku cinta kamu. Terkadang kita harus seperti anak kecil saat mencintai seseorang. Nggak perlu banyak omong, cari-cari alesan, hanya sesimple aku sayang kamu. Titik. Besok aku jemput kamu ke kampus ya. Aku sayang kamu."

Nasihat

Ini aneh, tapi baiklah. Halo nak, ini ayah. Ayah tak tahu kamu lelaki atau wanita, yang jelas, jikalau nanti kau sudah dewasa, dan mene...