Tuesday, August 5, 2014

Kata mereka, sajak punya rasa

Kata mereka, ada banyak hal baru yang kutemukan dalam sajakmu. Sebuah kasih baru. Sebuah renungan tentang penantian yang manis. Apakah itu tulus? Tapi tidak. Bukan. Itu hal lama. Yang kau baca adalah umpama bodoh dari seorang perindu dari yang kurindu. Tubuhku seperti pohon kaktus yang menanti air baru penerus nafas. Itu hanya kenangan yang lebih pahit dari kopi hitam yang diteguk sore hari. Lebih perih dari cabikan singa hutan lapar yang memaksa.

Kata mereka, bagimu, cinta itu pesimisme yang mendalam? Kenapa kau terlalu memaksa hati. Tapi tidak. Bukan. Yang kau baca adalah optimisme yang berlebihan. Kepercayaan rasa yang terlalu dalam, dan akhirnya membuat orang tolol sepertiku jatuh dalam banyak lembah. Lembah itu terlalu suram. Mungkin hanya orang bodoh yang mengulang kesalahan kesekian-kali dapat mengecapnya. Aku termakan lubangnya.

Kata mereka, kenapa kau tidak beranjak ke dahan lain. Memilah kembali pilihan dan menata hari lebih rapi. Tidak. Dia adalah sosok yang abadi. Dirinya mengingatkanku tentang kepercayaan terhadap takdir. Belajar dari masa lalu yang memuakkan. Dia itu seperti angin sederhana yang berhembus disekujur tubuh. Terlalu cepat untuk berlalu. Tapi tak sama dengan angin lain. Dia tak terelakkan. Dia abadi. Kokoh seperti batu karang sendirian.

Kata mereka, apa kau tak lelah dihantam hukum karma berkali-kali? Apakah sakitnya berujung lebih tajam? Tidak. Aku tak percaya hukum karma. Yang kutakuti adalah kebetulan. Kesakitan saat ini, bukanlah balasan kesalahan saat dulu. semuanya hanya kebetulan. Takdir yang merancangnya. Mengkotak-kotakkannya dalam berbagai warna. Yang ada hanya kebetulan dalam takdir yang disalah artikan  karma. Tapi sekarang, warna itu pudar, redup, tak berbekas. Tanpa kesejukan.

Kata mereka, sajakmu punya rasa. Dia seperti mengaliri banyak sendi dalam hidup. Mengenai banyak sasaran dengan akurat. Tapi tidak. Hidupku kosong. Tak ada yang bisa kulakukan selain menceritakan kekosongan yang kualami. Pandangan seperti mati rasa. Langkah seperti dahan pohon rapuh dipinggir sungai. Menunggu kematian. Menanti tenggelam.

Kata mereka, apa yang kau harapakan dalam hidup? apakah masih ada yang bisa membuatmu bertahan menapaki tanah? Jika itu yang kau tanyakan. Ya, aku punya harapan. Yang kuharapkan adalah sebuah pintu dimensi waktu. Aku ingin melaluinya dan menempuh perjalanan ketempat dia berada. Tapi tak ada gunanya. Aku seperti terpenjara. Setiap detik memegang dinginnya rangkaian besi menyebalkan dihadapanku.

Kata mereka, apa kau lelah ditanyai oleh kami? Apa kau menyesal? Mungkin ya, mungkin tidak. Kata orang, penyesalan itu ada dibelakang. Ada yang bilang penyesalan itu didepan. Tapi bagiku, penyesalan itu ditengah. Di kotak waktu yang tak sama. Kembali dan fikirkan sekali lagi.

No comments:

Post a Comment

Nasihat

Ini aneh, tapi baiklah. Halo nak, ini ayah. Ayah tak tahu kamu lelaki atau wanita, yang jelas, jikalau nanti kau sudah dewasa, dan mene...